Thursday, February 11, 2010

Budaya Populer Pengaruhi Pola Pikir Remaja soal Seks

 


Pada akhirnya remaja mengakui bahwa orangtua mereka berpengaruh dalam membentuk pemikiran mereka soal seks. Sikap orangtua berpengaruh bagi mereka terutama dalam penentuan sikap sang remaja. Pengakuan tersebut merupakan hasil survei yang baru-baru ini dilakukan terhadap remaja Amerika yang tinggal di Washington.
"Saat anak-anak mulai berangkat remaja dan keinginan seks datang, banyak orangtua merasa kehilangan anak-anaknya karena mereka sulit untuk dijauhkan dari budaya populer yang lebih mudah menjangkau mereka. Tetapi survei yang dilakukan petugas Kampanye Nasional untuk Pencegahan Kehamilan pada Remaja justru bertolak belakang," demikian aku petugas tersebut dalam laporan mereka. Walau para remaja mengakui pengaruh teman masih sedemikian kuat juga. Para gadis mengakui tekanan dari pasangan mereka masih kuat. Sedangkan remaja pria mengakui teman masih merupakan unsur dominan.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan selama kampanye tersebut ada hasil mengejutkan, bahwa untuk urusan skes ini remaja masih banyak mendapat pengaruh dari orangtua sebesar 38 persen. Dan sebagian lagi sekitar 32 persen mengaku mendapat pengaruh dari teman untuk memutuskan segala sesuatu.
Sementara itu sekitar 50 persen orangtua justru menganggap remaja mereka mudah terpengaruh untuk melakukan hubungan seks pertama kali dari teman-temannya. Para remaja mengakui teman memang sangat berpengaruh dalam menentukan pola pikir dan sikap mereka. Sekitar 94 persen mengakui, pengaruh teman setidaknya berperan dalam dalam hal cara berpikir untuk melakukan hubungan seks
Tetapi tekanan pengaruh yang diterima remaja pria dan wanita berbeda. Sekitar 37 persen remaja wanita mengaku sering mendapat tekanan dari pasangannya. Sementara 45 persen remaja pria mendapat pengaruh dari teman-temannya, hanya sekitar 19 persen yang mengaku mendapat pengaruh dari pasangannya. "Karena itu hal yang paling diprioritaskan adalah melakukan penyuluhan terhadap remaja pria. Saat ini masih ada pendapat keliru bahwa kehamilan remaja hanya merupakan problem remaja wanita. Padahal kehamilan itu terjadi karena peran pasangannya," ujar Bill Albert salah satu petugas kampanye untuk mencegah kehamilan remaja. Berkat kampanye/penyuluhan yang sering dilakukan setiap tahun, maka angka kelahiran dari remaja wanita turun sampai 20 persen sejak tahun 1991. Berkat penyuluhan yang sering dilakukan petugas, didapat hasil cukup memuaskan bahwa remaja dan dewasa muda semakin takut berhubungan seks dengan alasan terkena AIDS atau penyakit menular seksual lainnya.
Survei juga menemukan suatu bukti baru yang cukup memuaskan. Bahwa sebagian besar remaja dan dewasa muda berpikir bahwa sebaiknya remaja menunda waktu hubungan seks pertama mereka hingga saat yang tepat. "Argumen seru yang terjadi di kalangan muda akan menjadi strategi yang efektif dengan disertai tindakan upaya pencegahan dan kampanye pemakaian alat kontrasepsi." Secara spesifik, sekitar 73% orang dewasa dan 56% remaja mengakui remaja sebaiknya tidak melakukan hubungan seks. Tetapi jika pun mereka sudah mengakuinya, harus mendapat akses dan aktif dilibatkan dalam program keluarga berencana. Sementara itu 50% orang dewasa dan 18% remaja mengatakan harus ada tindakan tegas bagi remaja yang nekat melakukan hubungan seks secara bebas. Sedangkan sekitar 12% orang dewasa dan 25% remaja terlihat lebih liberal. Mereka mengatakan remaja boleh melakukan kehendak mereka soal hubungan seks sepanjang akses untuk memperoleh layanan kesehatan juga terbuka lebar bagi mereka. Pendukung program keluarga berencana sebesar 24% remaja dan 28% orang dewasa, mengatakan optimistis berbagai penyuluhan bisa mencegah tindakan remaja untuk berbuat nekat.
Seksualitas Remaja Indonesia
Sebuah survei terbaru terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15-24 tahun di 20 kabupaten pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan 46,2% remaja masih menganggap bahwa perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki (49,7%) dibandingkan pada remaja putri (42,3%) (LDFEUI & NFPCB, 1999a:92).
Dari survei yang sama juga didapatkan bahwa hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan risiko untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 51% mengira bahwa mereka akan berisiko tertular HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) (LDFEUI & NFPCB, 1999b:14).
Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya mereka akan berusaha untuk mendapatkan informasi ini. Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa.
Kebanyak orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi kepada remaja sebab mereka takut hal itu justru akan meningkatkan terjadinya hubungan seks pra-nikah. Padahal, anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah cenderung berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari orang lain (Hurlock, 1972 dikutip dari Iskandar, 1997).
Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas juga disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan reproduksi (pendidikan seks). Hasil pre-test materi dasar Reproduksi Sehat Anak dan Remaja (RSAR) di Jakarta Timur (perkotaan) dan Lembang (pedesaan) menunjukkan bahwa apabila orang tua merasa meiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, mereka lebih yakin dan tidak merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan dengan masalah seks (Iskandar, 1997:3).
Hambatan utama adalah justru bagaimana mengatasi pandangan bahwa segala sesuatu yang berbau seks adalah tabu untuk dibicarakan oleh orang yang belum menikah (Iskandar, 1997:1).
Sikap Remaja terhadap Kesehatan Reproduksi
Responden survei remaja di empat propinsi yang dilakukan pada tahun 1998 memperlihatkan sikap yang sedikit berbeda dalam memandang hubungan seks di luar nikah. Ada 2,2% responden setuju apabila laki-laki berhubungan seks sebelum menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka terhadap perempuan yang berhubungan seks sebelum menikah. Jika hubungan seks dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, maka responden yang setuju menjadi 8,6%. Jika mereka berencana untuk menikah, responden yang setuju kembali bertambah menjadi 12,5% (LDFEUI & NFPCB, 1999a:96-97).
Sebuah studi yang dilakukan LDFEUI di 13 propinsi di Indonesia (Hatmadji dan Rochani, 1993) menemukan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa pengetahuan mengenai kontrasepsi sudah harus dimiliki sebelum menikah.
Perilaku Seksual Remaja
Survei remaja di empat propinsi kembali melaporkan bahwa ada 2,9% remaja yang telah seksual aktif. Persentase remaja yang telah mempraktikkan seks pra-nikah terdiri dari 3,4% remaja putra dan 2,3% remaja putri (LDFEUI & NFPCB, 1999:101). Sebuah survei terhadap pelajar SMU di Manado, melaporkan persentase yang lebih tinggi, yaitu 20% pada remaja putra dan 6% pada remaja putri (Utomo, dkk., 1998).
Sebuah studi di Bali menemukan bahwa 4,4% remaja putri di perkotaan telah seksual aktif. Studi di Jawa Barat menemukan perbedaan antara remaja putri di perkotaan dan pedesaan yang telah seksual aktif yaitu berturut-turut 1,3% dan 1,4% (Kristanti & Depkes, 1996: Tabel 8b).
Sebuah studi kualitatif di perkotaan Banjarmasin dan pedesaan Mandiair melaporkan bahwa interval 8-10 tahun adalah rata-rata jarak antara usia pertama kali berhubungan seks dan usia pada saat menikah pada remaja putra, sedangkan pada remaja putri interval tersebut adalah 4-6 tahun (Saifuddin dkk, 1997:78).
Tentu saja angka-angka tersebut belum tentu menggambarkan kejadian yang sebenarnya, mengingat masalah seksualitas termasuk masalah sensitif sehingga tidak setiap orang bersedia mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan apabila angka sebenarnya jauh lebih besar daripada yang dilaporkan.
Diketik ulang Oleh Supendi Ardiansyah STkes DHB
Daftar Pustaka
Iskandar, Meiwita B. "Hasil Uji Coba Modul Reproduksi Sehata Anak & Remaja untuk Orang Tua." Makalah pada Lokakarya Penyusunan Rencana Pengembangan Media, diselenggarakan oleh PKBI, Jakarta, 20-21 Mei 1997.
Kristanti, Ch. M dan Depkes. Status Kesehatan Remaja Propinsi Jawa Barat dan Bali: Laporan Penelitian 1995/1996. Jakarta: Depkes-Binkesmas-Binkesga, 1996.
LDFEUI dan NFPCB. Baseline Survey of Young Adult Reproductive Welfare in Indonesia 1998/1999 Book I. Jakarta: LDFEUI dan NFPCB, Juli 1999a.
Rosdiana, D. Pokok-Pokok Pikiran Pendidikan Seks untuk Remaja. Dalam N. Kollman (ed). Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998:9-20.

No comments:
Write komentar

Klik & Subscribe Ya..

Translate