Friday, July 8, 2011

Rematik

Rematik
Konsep Penyakit
1. Pengertian
2. Patofisiologi
3. Penatalaksanaan Medis
4. Pemeriksaan penunjang
 Pengen Lebih jelasnya lihat saja di di atas ASKEP dan PNYAKIT kemudian download yaa.. selamat mencoba dan sukses buat aske/konsep penyakitnya.. heheh
salam sehat selalu.....






Pneumotoraks

Pneumotoraks

A. Latar Belakang
Sistem pernafasan merupakan salah satu organ terpenting dari bagian tubuh manusia setelah kardiovaskuler, sehingga bila terjadi gangguan sistem pernafasan akan mempengaruhi semua organ yang lain yang akan mengganggu pada aktivitas manusia.
Seiring dengan kemajuan zaman, semakin banyaknya transportasi dan pola hidup yang kurang baik dapat menjadi suatu masalah kesehatan jiwa, salah satunya yaitu gangguan sistem pernafasan yang serius dan membahayakan jiwa, keadaan ini akan menimbulkan berbagai penyakit primer yang mengenai sistem bronkopulmoner seperti hemoptisis masif, pneumotorak ventil status asmatikus dan pneumotorak berat. Sedangkan gangguan fungsi paru yang sekunder terhadap gangguan organ lain seperti keracunan obat yang menimbulkan depresi pusat pernafasan. Di Amerika didapatkan 180.000 orang meninggal akibat gangguan fungsi paru seperti trauma thorak, baik karena trauma thorak langsung maupun tidak langsung. Trauma torak dapat mengakibatkan terjadinya robekan pada pleura dimana dengan adanya robekan ini dapat menjadi celah masuknya udara ke dalam rongga tersebut sehingga menjadi Pneumotoraks.
Pneumotoraks adalah penimbunan udara atau gas didalam rongga pleura yang dapat mengakibatkan paru menjadi kolaps.
Menurut data yang penulis dapatkan di Ruang Soka Atas RS Persahabatan Jakarta dari bulan Juni s/d September 2008 berjumlah 151 klien dengan masalah Tumor Paru sebanyak 42 klien ( 27,81 % ), TB Paru 40 klien ( 26,49 % ), Pneumonia 29 klien ( 19,21 % ), Pneumotoraks 17 klien ( 11,26 % ), Effusi Pleura 15 klien ( 9.93 % ), PPOK 5 klien ( 3,31 % ), Abses Paru 3 klien ( 1,99 % ). Dari data diatas penyakit pneumotoraks berada pada urutan keempat. Meskipun terdapat pada urutan keempat namun jika penyakit pneumotoraks tidak segara ditanggulangi dapat menyebabkan terjadinya komplikasi seperti : Tension Pneumotoraks, Piopneumotoraks, Hidropneumotoraks, Pneumotoraks kronik, Hemopneumotoraks, Pneumotoraks mediastinum, Pneumothoraks stimultan bilateral.
Untuk mencegah agar tidak terjadi komplikasi maka diperlukan peran perawat yang optimal dan profesional yaitu secara promotif perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga dan klien berupa pengertian, penyebab, tanda dan gejala, perawatan, pengobatan, pencegahan pneumotoraks, manfaat gizi bagi kesehatan dan kebersihan lingkungan, secara preventif perawat dapat memberikan informasi pada keluarga tentang cara untuk menghindari terjadinya pneumotoraks salah satunya dengan cara menghindari diri dari budaya merokok, secara kuratif perawat dapat memberikan asuhan keperawatan sehingga klien tidak mengalami pneumotoraks yang lebih lanjut dan secara rehabilitatif yaitu dengan memulihkan klien sehingga dapat berfungsi secara optimal kembali setelah sakit, seperti perlunya penjelasan pada keluarga atau klien tentang pentingnya istirahat yang cukup, mengkonsumsi makan - makanan yang bergizi serta menghindari kebiasaan merokok.
Dari data diatas bahwa penyakit Pneumotoraks perlu mendapatkan perhatian khusus. Oleh karena itu, penulis sebagai tenaga kesehatan merasa tertarik untuk membuat makalah dengan judul Asuhan Keperawatan pada klien dengan pneumotorak di Ruang Soka Atas Rumah Sakit Persahabatan Jakarta.

A. Pengertian
Pneumotoraks adalah penimbunan udara atau gas didalam rongga pleura.
( www. medicastore. com ).
Pneumotoraks adalah paru dapat kolaps sebagian atau total sehubungan dengan pengumpulan udara. ( Doengoes maryllin. 2000 ).
Dari pengertian di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pneumothoraks merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya udara di dalam rongga paru yang dapat membuat paru menjadi kolaps.

B. Patofisiologi
1. Etiologi
Menurut penyebabnya pneumothoraks dikelompokkan menjadi :
a. Pneumotoraks spontan
Pneumotoraks spontan terjadi tanpa penyebab yang jelas. Pneumotoraks spontan primer terjadi jika penderita tidak ditemukan penyakit paru, diduga disebabkan oleh pecahnya kantung kecil berisi udara didalam paru yang disebut bleb atau buila. Pneumotoraks spontan sekunder merupakan komplikasi dari penyakit paru seperti PPOM, Asma, Fibrosis kistik, Tuberculosis, batuk rejan.
b. Pneumotoraks Traumatik
Pneumotoraks traumatik terjadi akibat cedera traumatik pada dada. Trauma bisa bersifat menembus ( luka tusuk, peluru ) atau tumpul ( benturan pada kecelakaan kendaraan bermotor ) bisa juga merupakan komplikasi dari tindakan medis tertentu seperti torakosintesis.
c. Pneumotoraks karena tekanan
Pneumotoraks karena tekanan terjadi jika paru mendapat beban yang berlebihan sehingga paru mengalami kolaps. Tekanan yang berlebihan juga bisa menghalangi pemompaan darah oleh jantung secara efektif sehingga terjadi syok.
2. Proses
Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif. Tekanan negatif disebabkan karena kecenderungan paru untuk kolaps ( elastis recoil ) dan dinding dada yang cenderung mengembang. Bilamana terjadi hubungan antara alveol atau ruang udara intrapulmoner lainnya ( kavitas, bulla ) dengan rongga udara pleura oleh sebab apapun, maka udara akan mengalir dari alveol ke rongga pleura sampai terjadi keseimbangan tekanan atau hubungan tersebut tertutup. sama halnya dengan mekanisme diatas, maka bila ada hubungan antara udara luar dengan rongga pleura melalui dinding dada, udara akan masuk ke rongga pleura sampai perbedaan tekanan menghilang atau hubungan menutup.
Pada Pneumotoraks spontan baik primer maupun sekunder mekanisme yang terdahulu yang terjadi sedangkan mekanisme yang kedua dapat dijumpai pada jenis traumatik.

3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul pada Pneumotoraks tergantung pada besarnya kerusakan yang terjadi pada sub pleura dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Gejala yang utama adalah berupa rasa sakit yang tiba - tiba bersifat unilateral diikuti sesak napas. Gejala ini lebih mudah ditemukan bila penderita melakukan aktivitas berat. Tapi pada sebagian kasus gejala - gejala masih dapat ditemukan pada aktivitas biasa atau waktu istirahat. Selain itu terdapat gejala klinis yang lain yaitu suara melemah, nyeri menusuk pada dada waktu inspirasi, kelemahan fisik.
Pada tahap yang lebih berat gejala semakin lama akan semakin memberat, penderita gelisah sekali, trakea dan mediastinum dapat mendorong kesisi kontralateral. Gerakan pernafasan tertinggi pada sisi yang sakit fungsi respirasi menurun, sianosis disertai syok oleh karena aliran darah yang terganggu akibat penekanan oleh udara, dan curah jantung menurun.
4. Pengobatan
Dasar – dasar pengobatan Pneumotoraks tergantung pada berat dan lamanya keluhan atau gejala, adanya penyakit peru yang mendasari ada riwayat Pneumotoraks sebelumnya. Sasaran pengobatan adalah secepatnya mengembangkan paru yang sakit sehingga keluhan - keluhan juga berkurang.
a. Pada Pneumotoraks spontan
1) Observasi Konservatif
2) Pemasangan WSD ( Water Sealed Drainage ) untuk mempercepat pengembangan paru.
3) Tindakan operasi
b. Pada Pneumotoraks Traumatik
Pneumotoraks traumatik pada dasarnya cara penanganannya sama dengan Pneumotoraks spontan, tapi pada Pneumotoraks traumatik perlu diperhatikan tanda - tanda terjadinya syok karena pada Pneumothoraks traumatik biasanya diikuti oleh perdarahan, selain itu pengobatan juga dilakukan dengan menutup luka akibat trauma.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan penunjang yang paling utama pada Pneumotoraks adalah foto toraks. Dimana pada foto toraks dapat diketahui kedaan paru pada penderita Pneumotoraks yaitu terlihat adanya bayangan udara dari Pneumotoraks yang mimindahkan pleura parietal dan pleura viceralis, selain itu dapat diketahui jika adanya penyakit paru lain seperti asama , Tuberculosis sehingga dapat diketahui kemungkinan terjadinya Pneumotoraks karena komplikasi penyakit tersebut.
b. Analisa Gas darah
Analisa gas darah juga penting dilakukan pada kasus Pneumotoraks dalam pemeriksaan ini dapat diketahui tekanan fungsi O2 dan CO2 dalam darah bervariasi tergantung pada tingkatan tekanan fungsi paru perubahan mekanisme pernafasan dan kemampuan untuk kompensasi pada kasus Pneumotoraks PaO2 biasanya menurun.
6. Komplikasi
Pada Pneumotoraks yang tidak segera ditangani akan mengakibatkan :
a. Tension Pneumotoraks
Komplikasi ini terjadi karena tekanan dalam rongga pleura meningkat sehingga paru mengempis lebih hebat, mediastinum tergeser kesisi lain dan mempengaruhi aliran darah vena keatrium kanan.
b. Pio Pneumotoraks
Pio Pneumotoraks berarti Pneumotoraks yang disertai empiema secara bersamaan pada sisi paru. Infeksinya berasal dari mikroorganisme yang membentuk gas atau dari robekan septik jaringan paru atau esofagus kearah rongga pleura, kebanyakan berasal dari robekan abses sub pleural dan sering membuat fistula broncopleura. Jenis kuman yang sering terdapat adalah Stappylococcus, Pseudomonnas, Mycobacterium Tuberculosis.
c. Hidropneumotoraks, Hemopneumotoraks
Pada kasus Pneumotoraks ditemukan juga sedikit cairan dalam pleuranya, cairan biasanya bersifat serosa atau kemerahan ( berdarah ) Hidrotoraks timbul dengan cepat setelah terjadinya Pneumotoraks pada kasus – kausus trauma / perdarahan intrapleural.
d. Pneumotoraks mediastinum
Adanya Pneumotoraks mediastinum dapat ditemukan dengan pemeriksaan foto dada. Kelainan ini dimuali dari robekannya alveoli ke dalam jaringan interstisium paru dan kemudian diikuti oleh pergerakan udara yang progresif kearah mediastinum ( menimbulkan Pneumomediastinum ) Pneumomediastinum jarang menunjukan kelainan klinis, walaupun secara potensi dapat menyebabkan tamponade saluran darah besar.

e. Pneumotoraks stimultan bilateral
Pneumotoraks yang terjadi pada kedua paru secara serentak, keadaan ini timbul secara serentak dan sebagai kelanjutan pneumomediastinum yang secara sekunder berasal dari efisien jaringan interstitial paru.
f. Pneumotoraks kronik
Pneumotoraks dinyatakan kronik bila tetap ada pada waktu lebih dari 3 bulan. Pneumotoraks kronik ini terjadi bila fistula bronko pleura tetap membuka dikarenakan adanya perlengkapan pleura yang menyebabkan robekan paru tetap terbuka.

C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan oleh perawat untuk mendapatkan data - data yang dibutuhkan sebelum melakukan asuhan keperawatan. Pengkajian pada klien Pneumotoraks dapat dilakuakan dengan teknik wawancara dan pemeriksaan fisik, serta menganal masalah klien dimulai dengan mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan yang aktual maupun resiko.
Data tersebut dikumpulkan berdasarkan data subjektif dan data objektif. Data subjektif itu sendiri adalah data yang diungkapkan oleh klien atau keluraga klien. Sedangkan data objektif yaitu data yang dihasilkan melalui observasi, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan diagnostik.

Adapun tahapan dalam pengkajian kilen dengan Pneumotoraks meliputi menurut ( Doengoes, Meryllin 2000 ) meliputi :
a. Identitas klien : Nama, jenis kelamin, suku dan pendidikan.
b. Riwayat kesehatan keluarga : Adakah keluarga menderita penyakit yang sama atau penyakit paru lainnya.
c. Riwayat sosial, ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan lingkungan.
d. Riwayat kesehatan sekarang : meliputi kesehatan sekarang.
e. Riwayat Psikologis penting sekali dikaji oleh perawat pada paisen Pneumotoraks terutama dengan pemasangan WSD seperti adanya rasa cemas dengan keadaan sakitnya.
f. Pola kebiasaan sehari-hari merupakan pola hidup pasien sehari-hari sebelum pasien masuk ke rumah sakit, seperti kebiasaan makan dan minum, eliminasi, tidur, istirahat, aktivitas, olahraga, kebiasaan melakukan ibadah dan kebisaan merokok.
1) Aktivitas istirahat
Gejala : Dispneu dengan aktivitas maupun istirahat
2) Sirkulasi
Tanda : Takikardia, disritmia, hipertensi / hipotensi.
3) Intergritas Ego
Tanda : Ketakutan, gelisah
4) Makanan / cairan
Tanda : Adanya pemasangan IV sentral/ infus tekanan.
5) Nyeri
Gejala tergantung pada
Ukuran / area yang terlibat : Nyeri dada unilateral, meningkat karena pernafasan, batuk, timbul tiba - tiba gejala sementara batuk atau regangan, tajam dan nyeri menusuk yang diperberat oleh nafas dalam kemungkinan menyebar keleher, bahu, abdomen.
Tanda : Berhati - hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, mengerutkan wajah.
6) Pernafasan
Gejala : Kesulitan bernafas, lapar nafa, batuk (mungkin gejala yang ada ),
riwayat bedah dada/ trauma.
Tanda : Takipneu, peningkatan kerja nafas, penggunaan obat bantu pernafasan pada dada, leher, retraksi interkonstal, bunyi nafas menurun atau tidak, observasi dan palpasi dada, kulit pucat, sianosis, berkeringat, mental ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
7) Keamanan
Gejala : Adanya trauma dada, radiasi kemoterapi untuk keganasan
8) Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Riwayat faktor resiko keluarga, adanya bedah intratorakal / biopsi paru.
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum : Kesadaran pasien, kondisi pasien, suhu, nadi, TD, Pernafasan TB dan BB.

2) Keadaan Khusus
Kepala : Keadaan rambut, kekuatan rambut dan kebersihan rambut.
Mata : Keadaan palpebra, sklera
Hidung : Luka / kebersihan dan penciuman.
Gigi dan mulut : bentuk, keadaan selaput lendir, keadaan mulut, luka atau perdarahan dan keadaan gigi.
Telinga : Bentuk, pendengaran dan kebersihan.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran kelenjar tiroid.
Dada : Bentuk, bunyi jantung, pergerakan dada.
Abdomen : Peristaltik usus, umbilikus, turgor.
Genitalia : Perdarahan, pengeluaran cairan.
Ekstremitas : Bentuk pergerakan, edema dan varises.
h. Pemeriksaan Laboratorium : Foto Toraks, Analisa Gas Darah.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah tahap kedua dalam proses keperawatan setelah pengkajian dimana diagnosa keperawatan merupakan masalah – masalah yang muncul dari respon klien.
a. Tidak efektifnya pola pernafasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara.
b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
c. Perubahan kenyamanan : nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan pemasangan alat invasif
e. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap luka drainage.
f. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakit berhubungan dengan kurang terpajannya informasi.
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan adalah tahap ketiga dari proses keperawatan dimana tujuan atau hasil ditentukan dari intervensi yang dipilih. Adapun rencana keperawatan adalah bukti tertulis dari tahap kedua dan tahap - tahap proses keperawatan yang mengidentifikasi masalah atau kebutuhan klien, tujuan atau hasil keperawatan dan intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan serta menangani masalah atau kebutuhan klien.
Permulaan untuk merencanakan keperawatan umumnya adalah membuat prioritas masalah sehingga perhatian perawat dan tindakan yang dilakuakan difokuskan dengan tepat. Dalam menentukan prioritas masalah diurutkan berdasarkan Hierarki Maslow.
Setelah memprioritaskan masalah klien ditetapkan tujuan tindakan, adapun tujuan tersebut ada dua yaitu tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah tujuan yang tidak dicapai sebelum pemulangan tetapi menentukan perhatian yang terus menerus dari klien atau orang lain. Sedangkan tujuan jangka pendek adalah tujuan yang biasanya harus di capai sebelum pemulangan pemindahan ke tingkat yang lebih akut.
Tahap berikutnya dalam membuat proses keperawatan adalah menentukan tujuan. Dalam menentukan tujuan harus terdiri dari SMART ( Spesifik, measurable, achiveable, reality, time ) Adapun perencanaan keperawatan pada penyakit Pneumotoraks sebagai berikut :
a. Tidak efektifnya pola pernafasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara.
Tujuan : Pola pernafasan efektif.
Kriteria Hasil : Memperlihatkan frekuensi pernafasan yang efektif.
Mengalami perbaikan pertukaran gas pada paru.
Sesak berkurang
Intervensi
1) Identifikasi faktor pencetus
2) Kaji fungsi pernafasan kecepatan terjadinya sianosis dan perubahan TTV
3) Auskultasi bunyi nafas
4) Catat pengembangan dada dan fungsi trackea.
5) Atur posisi pasien senyaman mungkin
6) Kolaborasi pemberian O2.
7) Kolaborasi cek AGD, foto thorak
b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan : Kebutuhan klien akan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil : Nafsu makan bertambah
Makan habis 1 porsi
BB dapat batas ideal


Intervensi
1. Kaji kebiasaan makan makanan kesukaan atau ketidaksukaan
2. Timbang berat badan klien setelah sakit
3. Anjurkan klien makan dalam porsi kecil tapi sering
4. Beri motivasi klien untuk menghabiskan porsi makannuya
5. Hidangkan makanan selagi hangat
6. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat untuk proses penyembuhan
7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan diit makanan
8. Kolaborasi pemberian obat anti emetik
c. Perubahan kenyamanan : nyeri berhubungan dengan trauma jaringan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang / hilang.
Kriteria Hasil : Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan / menurunkan nyeri.
Pasien tidak gelisah.
Intervensi :
1) Kaji penyebab nyeri, intensitas nyeri, karakteristik nyeri, dan skala nyeri
2) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
3) Ajarkan teknik relaksasi distraksi untuk mengurangi rasa nyeri.
4) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri
5) Berikan posisi yang membuat pasien merasa nyaman.
6) Tingkatkan pengetahuan pasien tentang sebab – sebab terjadinya nyeri.
7) Kolaborasi pemberian analgetik.
d. Gangguan pemenuhan kebutuhan aktifitas berhubungan dengan pemasangan alat invasif.
Tujuan : klien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : Klien dapat melakukan aktivitas secara bertahap.
Intervensi :
1) Observasi selang WSD sebelum dan sesudah klien melakukan aktivitas.
2) Anjurkan keluarga dalam membantu aktivitas klien.
3) Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas secara perlahan-lahan.
4) Observasi TTV sebelum dan sesudah melakukan aktivitas.
e. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap luka drainage.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi / terkontrol
Kriteria hasil : Tidak ada tanda – tanda infeksi seperti pus.
Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Intervensi :
1) Kaji tanda - tanda infeksi pada area pemasangan selang WSD dan infus
2) Ganti balutan luka WSD dengan teknik steril setiap hari.
3) Observasi Tanda - tanda vital
4) Ganti alat tenun setiap hari.
5) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai instruksi dokter
f. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakit berhubungan dengan kurang terpajannya informasi.
Tujuan : Meningkatkan pengetahuan klien

Kriteria hasil : Pengetahuan klien bertambah
Klien tenang dan rilek akan pengobatan yang akan dilakukan
Intervensi
1) Kaji tingkat pengetahuan klien
2) Berikan pendidikan kesehatan tentang penyakit Pneumotoraks baik dalam bentuk tertulis maupun verbal.
4. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik yang tujuannya untuk membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping ( Depkes, 2000 ).
Pelaksanaan tindakan keperawatan dengan rencana tindakan keperawatan sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien saat ini. Selain itu perawat juga harus menilai kondisi diri, apakah sudah mempunyai kemmapuan interpersonal, intelektual, tekhnikal sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan. Hubungan saling percaya antara perawat dan klien. Merupakan dasar utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
Berbagi tahapan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
a. Tahap 1 : Persiapan
Pada tahap ini perawat perlu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam melaksanakan tindakan keperawatan : konsistensi sesuai dengan rencana tindakan, berdasarkan prinsip ilmiah ditujukan kepada individu sesuai kondisi klien, digunakan untuk menciptakan lingkungan yang terapeutik, memberikan penyuluhan dan pendidikan terhadap klien dan penggunaan saran dan prasarana yang memadai.
1) Menganalisa pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang diperlukan
2) Mengetahui komplikasi dari tindakan keperawatan yang mungkin timbul. Prosedur tindakan keperawatan mungkin berakibat negatif pada klien, untuk itu perawat juga harus mengantisipasi jika terjadi komplikasi pada klien sebelum melakukan tindakan keperawatan.
3) Menentukan dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan.
4) Mempersiapkan lingkungan yang kondusif sesuai tindakan yang dilakukan.
5) Mengidentifikasi aspek hukum dan etik terhadap resiko potensial tindakan. Pelaksanaan tindakan keperawatan harus memperhatikan hak dan kewajiban klien
b. Tahap 2 : Intervensi
Fokus pada tahap pelaksanaan tindakan keperawatan adalah kegiatan pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk kebutuhan fisik dan emosisonal pendekatan tindakan keperawatan meliputi :
1) Independent merupakan tindakan perawat pada klien tanpa petunjuk perintah dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
2) Interdependent merupakan tinadakan keperawatan menjelaskan sesuatu tindakan keperawatan yang merupakan suatu tindakan kerjasama dengan kesehatan lainnya. Misalnya dokter ahli gizi dan psioterapi
3) Dependent merupakan tindakan perawat berhubungan dengan pelaksanaan tindakan medis.
c. Tahap 3 : Dokumentasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan pada pelaksanaan keperawatan dalam kasus, rencana keperawatan dilaksanakan sesuai dengan tahapan pelaksanaan dalam teori yaitu adanya tahapan paersiapan antara lain mereview tindakan keperawatan menganalisa pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang diperlukan, mengetahui komplikasi dari tindakan keperawatan yang mungkin timbul, menentukan dan mempersiapkan perakitan yang diperlukan, memepersiapkan lingkungan yang konduktif, sesuai dengan tindakan yang dilakukan, mengidentifikasi aspek hukum dan etik terhadap resiko dari potensial tindakan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan ( Brooker, Christine. 2001 ).
Evaluasi keperawatan ini memiliki dua jenis evaluasi Yaitu : evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif yaitu pernyataan formatif yang merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap klien, terhadap respon langsung pada intervenasi keperawatan dan didokumentasikan dalam catatan keperawatan.
Evaluasi sumatif yaitu pernyataan sumatif yang merefleksikan rekapitulasi dan sinopsis observasi dan analisa mengenai status kesehatan klien terhadap waktu dan didokumentasikan dalam catatan perkembangan.
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan Pneumotoraks adalah :
a. Pola pernafasan efektif.
b. Nafsu makan bertambah
c. Nyeri berkurang
d. Pasien dapat menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
e. Infeksi tidak terjadi.
f. Pengetahuan klien bertambah

Ditulis ulang Oleh Pendi ardiansyah
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth, ( 2001 ). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall. ( 2000 ). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Marilyn, E. Doengoes. ( 2000 ). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Patriani ( 2007 ).Asuhan Keperawatan Patriani. Diambil dari http://www. asuhan keperawatan patriani.blogspot. com. Tanggal 6 September 2008 Pukul 19.00 WIB.
Price, Sylvia Anderson ( 2005 ). Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. Edisi 6. jilid 2 Jakarta : EGC.









Sekilas Diare

Program Diare
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yaitu untuk tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Tujuan pembangunan kesehatan telah ditetapkan dalam UU RI No. 23 tahun 1992 pasal 3 yaitu pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap orang agar mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Dep.Kes RI, 2003).
Derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat diwujudkan dengan diselenggarakannya upaya-upaya kesehatan yaitu: upaya pendekatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Noor, 2000).
Upaya-upaya kesehatan yang diselenggarakan berdasarkan Aktualisasi Indonesia Sehat 2010 pelaksanaannya di tingkat kabupaten atau kota. Dengan visi sebagai sebuah gambaran masa depan yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan yang sehat dan memiliki perilaku hidup yang sehat, serta kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil, merata, sehingga akan memiliki derajat kesehatan setinggi– tingginya (Ahmadi, 2004).
Upaya untuk memiliki derajat kesehatan yang setingi-tingginya, dapat dicapai melalui Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik di tingkat pusat, propinsi, kabupaten / kota bahkan sampai pada tingkat unit pelayanan kesehatan dasar (puskesmas) merupakan upaya implementasi untuk pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Salah satu upaya implementasi tersebut adalah Program Pemberantasan Penyakit Diare (Dep.Kes RI, 2003).
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan utama pada anak khususnya terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dari sekitar 4 miliar kasus diare di dunia pada tahun 1996, terdapat 2,5 juta kasus berakhir dengan kematian dan sebagian besar (lebih dari 90%) terjadi di negara-negara berkembang. Sekitar 80% kematian akibat diare tersebut terjadi pada anak di bawah usia dua tahun. Secara umum kematian akibat diare pada anak di dunia mencapai 42.000 per minggu, 6.000 per hari, 4 per menit, dan 1 kematian setiap 14 detik (WHO, 2000).
Di Indonesia sendiri, angka kematian pada anak akibat diare masih cukup tinggi meski sudah ada penurunan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2005, baik di Jawa-Bali maupun di luar Jawa-Bali, diare merupakan penyebab kematian nomor dua pada anak setelah pnemonia. Berdasarkan laporan kader dan fasilitator kesehatan pada tahun 2005, angka kematian diare pada penduduk umum mencapai 23,57 per 1.000 penduduk (Dep.Kes RI, 2005).
Pada tahun 2005 Dinas Kesehatan Jawa Barat menyatakan bahwa penderita diperkirakan mencapai 11,8 juta orang. Hasil survei yang dilakukan dan laporan yang masuk, penderita diare pada usia lebih dari 5 tahun ditemukan sebanyak 420 ribu orang atau (44,3%). Kemudian, penderita usia 1-4 tahun sebanyak 144 ribu anak (34,2%) dan untuk golongan umur kurang dari 1 tahun sekira 88 ribu anak (21,5%) jika tidak segera ditangani diare bisa menyebabkan kematian. Penderita paling banyak meninggal dunia karena diare selama ini, berasal dari golongan umur kurang dari 1 tahun yaitu mencapai 65 ribu anak (Dep.Kes RI, 2006).
Berdasarkan Surveilen Terpadu Penyakit Berbasis Puskesmas di Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan terjadi peningkatan penderita diare. Pada tahun 2005 hanya berjumlah 6.958 orang meningkat menjadi 16.387 orang atau 42% pada tahun 2006. Selanjutnya, pada tahun 2007 berjumlah 25.275 orang atau meningkat 64% dari tahun 2006 (Rekapitulasi STP. DinKes Kuningan, 2008).
Angka penyebaran kasus penyakit diare dari 37 Puskesmas yang terdapat di Kabupaten Kuningan tertingi adalah di UPTD Puskesmas DTP Darma dengan jumlah 1.749 orang. Data tersebut dipeloleh dari hasil rekapitulasi Surveilen Terpadu setiap puskesmas tahun 2007 Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan (Dinkes. Kuningan, 2008).
UPTD Puskesmas DTP Darma adalah salah satu puskesmas yang terdapat di wilayah Kabupaten Kuningan. Secara geografis UPTD Puskesmas DTP Darma terletak di Desa Darma Kecamatan Darma. Keberadaannya sangat strategis karena letaknya bersebelahan dengan Objek Wisata Waduk Darma sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat setempat (Profil UPTD Puskesmas DTP Darma, 2007).
Sebagai salah satu pusat kesehatan masyarakat yang memiliki DTP (Dengan Tempat Perawatan), Puskesmas Darma memiliki peranan besar dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya. Kecamatan Darma terdiri atas 19 desa dengan jumlah penduduknya pada tahun 2005 sekitar 47.398 jiwa. Jumlah balita pada tahun 2008 sebanyak 1.045 balita atau sekitar (2,20%) dari jumlah penduduk. Kaitan dengan kasus diare berdasarkan catatan laporan kunjungan masyarakat Ke Puskesmas tahun 2007 sebayak 636 kasus diare terjadi pada balita (Prog. P2 Diare. Puskesmas Darma, 2008).
Penyakit Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan atau tanpa darah dan atau lendir dalam tinja (Mansjoer, 2000). Pada umumnya penyakit diare sering terjadi pada bayi atau anak yang sebelumnya tampak sehat. Gejalanya terjadi peningkatan buang air besar (BAB) tiga kali atau lebih per hari disertai perubahan tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah. Hal ini karena secara fisiologis sistem pencernaan pada balita belum cukup matur (organ-organnya belum matang), sehingga rentan sekali terkena penyakit saluran pencernaan. Penyakit saluran pencernaan ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri dan amoeba atau parasit melalui makanan yang masuk ke dalam tubuh dan juga mal absorpsi serta alergi zat makanan tertentu (Markum, 1998).
Gejala penyerta lain dari diare pada anak balita biasanya ditandai anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan menurun sampai tidak ada nafsu makan. Muntah dapat timbul sebelum atau sesudah diare karena lambung turut meradang akibat gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. Bila anak balita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit akan terjadi dehidrasi. Akibatnya yaitu berat badan menurun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun – ubun besar menjadi cekung (pada bayi), selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering (Ngastiyah, 1997).
Pasien diare yang dirawat biasanya sudah dalam keadaan dehidrasi berat dengan rata – rata kehilangan cairan sebanyak 12,5%. Pada dehidrasi berat, volume darah berkurang sehingga dapat terjadi renjatan hipovolemik dengan gejala denyut jantung menjadi cepat, nadi cepat dan kecil, tekanan darah menurun, pasien sangat lemah, kesadaran menurun (apatis, somnolen, kadang sampai soporokomateus). Akibat dari diare adalah oliguria atau anuria dan asidosis metabolik. Bila sudah terjadi asidosis metabolik pasien akan tampak pucat dengan pernapasan yang cepat dan dalam atau pernapasan Kussmaul (Mansjoer, 2001).
Akibat kehilangan banyak cairan dan elektrolit yang terjadi dalam waktu 24 jam dapat timbul ganguan sirkulasi darah berupa renjatan (syok). Selain itu, akan terjadi Gangguan gizi akibat kehilangan air dan kurangnya masukan makanan. Adapun Hipoglikemi terjadi karena habisnya persediaan glikogen di dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan kejang, stupor sampai koma. Bahkan, sampai terjadi kematian apabila lalai dalam menangani dehidrasi tersebut (Garna, 2000).
Kematian yang diakibatkan oleh diare lebih sering karena tubuh mengalami dehidrasi, yaitu gejala kekurangan cairan dan elektrolit. Tanda-tanda dehidrasi diantaranya anak memperlihatkan gejala kehausan, berat badan turun, dan elastisitas kulit berkurang. Ini bisa dilakukan dengan cara mencubit kulit dinding perut. Bila terjadi dehidrasi, maka kulit dinding perut akan lebih lama kembali pulih (Siswono, 2001).
Orang tua suatu saat mungkin akan dihadapkan pada kegawatan anak yang terjadi tiba-tiba tanpa tanda-tanda khusus sebelumnya. Bila penyebabnya diketahui dan sarana medis tersedia lengkap, maka kegawatan tersebut dapat segera tertolong. Akan tetapi, jika terjadi sebaliknya maka dapat mengancam jiwa anak tersebut. Untuk mencegah hal tersebut, alangkah baiknya jika orang tua dan masyarakat mengetahui sedini mungkin pertolongan pertama yang seharusnya dilakukan sebelum dibawa ke rumah sakit terdekat (Firmansyah, 2007).
Sebagai upaya pertolongan pertama di rumah dalam menangani balita yang terkena diare supaya tidak terjadi dehidrasi dapat dengan cara memberikan minum air putih yang dimasak atau oralit dan mempertahankan rehidrasi (Dep.Kes.RI, 1999).
Pencegahan diare yang seharusnya dilakukan oleh keluarga adalah: pengolahan makanan yang dimasak dengan baik agar tidak terjadi kontaminasi, air minum bersih dari sumber air yang terjaga kebersihannya setelah dimasak, mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar, sebelum makan dan sebelum menyiapkan makanan, menggunakan jamban untuk anak kecil saat buang tinja atau menguburnya, mempertahankan pemberian ASI apabila balita masih menyusui sebagai pengganti nutrisi. Hal-hal tersebut penting dilakukan di tengah-tengah keluarga karena peran keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan merupakan bagian dari tangung jawab orang tua (Effendy, 1998).
Angka kejadian diare yang seharusnya tidak terjadi seandainya orang tua khususnya ibu mengetahui bagaimana penatalaksanaan apabila balitanya diare. Salah satu resiko yang ikut berperan dalam timbulnya diare kebanyakan karena kurangnya pengetahuan ibu dalam hal higiene yang kurang, baik perorangan maupun lingkungan, pola pemberian makanan, sosio ekonomi dan sosio budaya. Keluarga memberikan perawatan kesehatan yang bersifat preventif. Jika salah satu anggota keluarga sakit maka semua anggota keluarga menjadi ikut berpengaruh. Orang yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kesehatan anak salah satunya adalah ibu karena ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak dan bertanggung jawab dalam merawat anaknya. Dengan demikian pengetahuan ibu tentang diare secara tidak langsung berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian diare (Friedman, 1998).
Peran ibu dalam melakukan penatalaksanaan dan pencegahan terhadap diare diperlukan suatu pengetahuan, karena pengetahuan merupakan salah satu komponen faktor predisposisi yang penting. Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan terjadinya perubahan sikap dan prilaku tetapi mempunyai hubungan yang positif, yakni dengan peningkatan pengetahuan maka terjadinya perubahan perilaku akan cepat (Notoatmodjo, 2005).
Pengetahuan ibu tentang penatalaksanaan dan pencegahan penyakit diare pada balita dapat ditingkatkan melalui berbagai penyuluhan mengenai diare. Hal ini, merupakan salah satu peran perawat sebagai pendidik (Healt Education) dalam memberikan pendidikan kesehatan (promosi kesehatan) kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat maupun bentuk desiminasi ilmu kepada peserta didik keperawatan, antara sesama perawat atau tenaga kesehatan lain (Gaffar, 1999)
Penyuluhan atau pendidikan kesehatan khususnya tentang penatalaksanaan diare pada balita ditujukan agar orang tua (ibu) dari balita mengetahui apa itu diare, tanda – tanda diare, akibat yang ditimbulkan oleh diare dan mampu melakukan pertolongan pertama pada penderita diare, sebelum dibawa ke Puskesmas untuk mendapatkan pertolongan medis, guna menurunkan angka kematian balita akibat diare (Supartini, 2004).
Berdasarkan latar belakang di atas dan data yang diperoleh dari Tempat Perawatan UPTD Puskesmas Darma pada tanggal 17 Maret 2008 selama enam bulan terakhir terdapat 24 balita yang mengalami diare. Rata-rata balita yang dibawa ke Puskesmas sudah dalam keadaan dehidrasi, karena ketidaktahuan orang tua (ibu) tentang penanganan dehidrasi pada balita yang terkena diare. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang diwujudkan dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul “Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Penatalaksanaan Penyakit Diare Pada Balita Di UPTD Puskesmas DTP Darma.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah di uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :“ Bagaimanakah gambaran pengetahuan ibu tentang penatalaksaan penyakit diare pada balita di UPTD Puskesmas DTP Darma Kabupaten Kuningan ?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang penatalaksanaan penyakit diare pada balita di UPTD Puskesmas DTP Darma Tahun 2008
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang pengertian diare pada balita di UPTD Puskesmas DTP Darma.
b. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang tanda dan gejala diare pada balita di UPTD Puskesmas DTP Darma.
c. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang komplikasi yang ditimbulkan diare pada balita di UPTD Puskesmas DTP Darma.
d. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang penatalaksanaan dan rehidrasi cairan akibat diare pada balita di UPTD Puskesmas DTP Darma.
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu mengkaji sejauh mana pengetahuan ibu tentang penyakit diare dan penatalaksanaanya pada balita di UPTD Puskesmas DTP Darma Kabupaten Kuningan tahun 2008. Sasaran dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita usia 1-4 tahun.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini bagi:
1. Dinas Kesehatan
Dapat memberikan informasi kepada Kepala Dinas Kesehatan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya meningkatan program P2ML dan Penyuluhan tentang diare pada balita guna membantu menurunkan angka kejadian diare khususnya di UPTD Puskesmas DTP Darma.

2. Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi kepada Kepala Puskesmas dan sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan mutu pelayanan puskesmas salah satunya upaya peningkatan program P2 Diare dan Penkes mengenai pencegahan, perawatan, dan penatalaksanan penyakit diare guna menurunkan angka kesakitan dan kematian balita akibat diare khususnya di wilayah UPTD Puskesmas DTP Darma Kabupaten Kuningan.
3. Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini di harapakan menjadi bahan masukan bagi disiplin ilmu keperawatan dalam mengembangkan keilmuan khususnya ilmu keperawatan komunitas dan keperawatan anak, agar para mahasiswa ilmu keperawatan dapat mengetahui penatalaksanaan diare pada balita serta perannya sebagai seorang perawat yaitu memberikan penkes (pendidikan kesehatan), mempromosikan dan pencegahan (prevenitif) penyakit diare.
4. Peneliti
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan penyakit diare dalam rangka menurunkan angka kesakitan akibat diare.
F. Definisi Konseptual dan Operasional
1. Definisi Konseptual
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang overt behaviour (Notoatmodjo, 2007).
b. Diare
Diare adalah buang air besar yang terjadi pada bayi atau anak dengan frekuensi 3 kali atau lebih per hari, disertai perubahan tinja menjadi cair, dengan atau tanpa lendir dan darah (Markum, 1999).
c. Penatalaksanaan Diare
Prinsip penatalaksanaan pada penderita diare menurut Depkes.RI (2003) adalah :
1) Mencegah Terjadinya Dehidrasi
Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan melalui dari rumah dengan memberikan minum lebih banyak dengan cairan rumah tangga yang dianjurkan, seperti air tajin, kuah sayur dan air putih.
2) Mengatasi Dehidrasi
Bila terjadi dehidrasi (terutama pada Balita ), penderita harus segera dibawa ke petugas kesehatan atau sarana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang tepat, yaitu dengan oralit. Bila terjadi dehidrasi berat (penderita harus segera diberikan cairan intravena dengan ringer laktat sebelum dilanjutkan terapi oral).
3) Memberikan Makanan
Berikan makanan selama serangan diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita terutama bayi dan balita agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan. Berikan cairan termasuk oralit dan makanan sesuai yang dianjurkan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI.
4) Mengatasi Masalah Lain
Apabila ditemukan penderita diare disertai dengan penyakit lain, maka diberikan pengobatan sesuai indikasi, dengan tetap mengutamakan rehidrasi.
d. Balita
Dari kepustakaan terdapat berbagai pendapat mengenai pembagian tahap-tahap tumbuh kembang anak. Berdasakan hasil Rapat Kerja UKK Pediatri Sosial di Jakarta, bulan Oktober tahun 1986 menyatakan pengertian balita adalah anak yang telah melewati masa bayi, pasca bayi (infant) toodler dan preschool (Soetjiningsih, 2000). Dalam penelitian ini yang menjadi bahan penelitian anak balita yang telah berusia 1-4 tahun.
2. Definisi Operasional
Tabel.1 Definisi Operasional
No. Variabel Sub Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1 Pengetahuan Ibu tentang penatalaksanaan penyakit diare pada balita
a. Pengetahuan tentang pengertian diare
b. Pengetahuan tentang tanda dan gejala
c. Pengetahuan tentang komplikasi yang ditimbulkan
d. Penatalaksanaan dan rehidrasi akibat diare.
Pengertian tentang diare dan segala yang diketahui oleh ibu yang berada di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas DTP Darma, mengenai penyakit diare serta tindakan yang dilakukan dalam menangani diare diantaranya: mencegah terjadinya dehidrasi, mengobati dehidrasi, memberikan makanan, dan mengobati masalah lain.
Pemahaman ibu yang berada di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas DTP Darma mengenai pengertian dari diare atau buang air besar encer lebih dari 4 kali sehari.
Ibu yang berada di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas DTP Darma mengetahui dan memahami Tanda dan gejala diare antara lain : Mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemungkinan timbul diare.Tinja cair, disertai lendir atau lendir dan darah. Biasanya bab lebih dari 4 kali
Ibu yang berada di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas DTP Darma mengetahui dan memahami tanda-tanda kehilangan cairan dan elektrolit atau Dehidrasi (ringan, sedang dan berat) pada saat balitanya diare.
Pengetahuan tentang Cara-cara yang dilakukan ibu yang berada di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas DTP Darma dalam mengatasi dan penanggulangan diare pada balita di rumah, misalnya memberikan minum dan memberi ASI. Kuesioner dengan
pertanyaan multiple
choice
P= f x 100%
N
P = Persentase
f = Jumlah pertanyaan yang dijawab benar
N = Jumlah pertanyaan untuk pembahasan hasil.
(Arikunto, 1998)
Baik : 75% - 100%
Cukup : 45 %-74%
Kurang: 0,3 maka item dinyatakan valid, sedangkan jika (r) < 0,3 item tidak valid (Notoatmodjo, 2005).
b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan. Menurut Arikunto (2002), teknik uji reliabilitas yang di gunakan untuk instrumen pengetahuan yang berupa skor dikotomi, Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan rumus K – R 20 (Kuder dan Richardson) yaitu :
Keterangan:
r11 = realibilitas instrumen
K = banyaknya butir pertanyaan
Vt = varians total
P = proporsi subjek yang menjawab betul pada sesuatu butir (proprsi subjek yang mendapat skor 1)
p = banyaknya subjek yang skornya 1
N
q = proporsi subjek yang mendapat skor 0
(q = 1- p )
(Arikunto, 2002)
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer yaitu data yang diambil secara langsung dari responden dengan menggunakan metode kuesioner. Sebelum mengisi kuesioner responden diberi penjelasan terlebih dahulu dan diminta kesediaannya untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan (Notoatmojo, 2005).
2. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh sebagai pendukung hasil penelitian, sumber data sekunder diperoleh dari catatan, literatur, artikel dan tulisan ilmiah yang relevan dengan topik penelitian yang dilakukan (Notoatmodjo, 2005).
F. Pengolahan Data dan Analisa Data
1. Pengolahan Data
Sebelum dilakukan pengolahan data, variabel pengetahuan diberi skor sesuai dengan bobot jawaban dari pertanyaan yang disediakan pengolahan data yang dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a. Editing
Melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kejelasan jawaban kuesioner dan penyesuaian data yang diperoleh dengan kebutuhan penelitian. Hal ini dilakukan dilapangan sehingga apabila terdapat data yang meragukan ataupun salah, maka dapat ditanyakan lagi kepada responden.
b. Coding
Mengkode data merupakan kegiatan mengklasifikasi data memberi kode untuk masing-masing kelas terhadap data yang diperoleh dari sumber data yang telah diperiksa kelengkapan.
c. Scoring
Pertanyaan yang diberi skor hanya pertanyaan tentang diare. Tahap ini meliputi nilai untuk masing-masing pertanyaan dan penjumlahan hasil scoring dari semua pertanyaan.
d. Entry
Data yang sudah diberi kode kemudian dimasukan ke dalam komputer adapun program yang digunakan adalah SPSS.
e. Cleaning
Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dimasukan dilakukan bila terdapat kesalahan dalam memasukan data yaitu dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang diteliti.
f. Tabulating
Tabulasi data yang telah lengkap disusun sesuai dengan variabel yang dibutuhkan lalu dimasukan kedalam tabel distribusi frekuensi. Setelah diperoleh hasil dengan cara perhitungan, kemudian nilai tersebut dimasukan ke dalam kategori nilai yang telah dibuat.
2. Analisa Data
Adapun data dianalisa secara univariat. Analisis univariat dimaksudkan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan proporsi dari variabel - variabel yang diamati. Data yang diperoleh dikumpulkan, pertanyaan yang dijawab dengan benar diberi nilai 1 dan jika salah diberi nilai 0. Kemudian dituangkan kedalam bentuk tabel dengan perhitungan analisis.
Menurut Arikunto (1998) :
Keterangan :
P = Persentase
f = Jumlah pertanyaan yang dijawab benar
N = Jumlah semua pertanyaan untuk pembahasan hasil, dikonfirmasikan ke dalam kriteria kualitatif menurut Arikunto (1998) adalah:
1. Baik : Apabila pertanyaan di jawab dengan benar oleh responden dengan persentase 75% -100%.
2. Cukup : Apabila pertanyaan di jawab dengan benar oleh responden dengan persentase 45% -74%.
3. Kurang : Apabila pertanyaan di jawab dengan benar oleh responden dengan persentase < 44%.
G. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Menentukan masalah
b. Memilih lahan penelitian
c. Melakukan studi pendahuluan
d. Menyusun proposal
e. Seminar proposal
2. Tahap Pelaksanaan
a. Izin penelitian
b. Mendapatkan informed consent dari responden
c. Melakukan pengumpulan data
d. Melakukan pengolahan dan analisa data
3. Tahap Akhir
a. Menyusun laporan hasil penelitian
b. Sidang atau presentasi hasil penelitian.
H. Etika Penelitian
Peneliti menjamin hak-hak responden dengan terlebih dahulu melakukan informed consent sebelum mengisi kuesioner. Responden berhak menolak atau tidak bersedia menjadi subjek penelitian dan selama penelitian responden dijamin kerahasiaannya.
I. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 12 Mei sampai 14 Juni Tahun 2008 di UPTD Puskesmas DTP Darma Kabupaten Kuningan.

Ditulis ulang Pendi ardiansyah
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Artikel, 2005, Diare Pada Anak. http//,www.detailartikel.com (04/3/2005).
Awangga, S.N. 2007. Desain Proposal Penelitian . Yogyakarta : Pyramid Publisher.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1999. Penatalaksanaan Penderita Diare, Ditjen PPM & PLP. Jakarta
Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan. 2006. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan. 2008. Surveilen Terpadu Berbasis Penyakit Setiap Puskesmas (STP).
Friedman, 1998. Keperawatan Keluarga. Jakarta : EGC.
Gaffar, Jumadi. L.O. 1999. Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC.
Garna, Heri.dkk. 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi Ke dua.Bandung : FKU Padjadjaran.
Hidayat, Alimul.A.A. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika.
Irianto, Kus. Drs. 2004. Struktur Dan Fungsi Tubuh Manusia Untuk Paramedis. Bandung : Yrama Widya.
Laksman, Hendra, T. Dr. 2003. Kamus Kedokteran. Jakarta : Djambaran.
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1. Jakarta : EGC.
Markum. 1998. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Ajar Jilid 1, Bagian Kesehatan Anak , Fakultas UI, Jakarta.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Jakarta : Rineka Cipta.
Shelov, Steven P dan Hannemann, Robert E. 2004. Panduan Lengkap Perawatan Bayi Dan Balita. The American Academy Of Pediatrics.
Jakarta : ARCAN.


SAP Diare

SATUAN PEMBELAJARAN

Bidang Studi : Keperawatan Anak
Pokok Bahasan : Asuhan Keperawatan Anak Dengan Diare
Sub Pokok Bahasan : Perawatan dan Pencegahan Anak Dengan Diare
Sasaran : Orang Tua Klien
Waktu : 1 x 25 menit
Diagnosa Keperawatan : Resiko Diare Berulang Berhubungan Dengan Kurang Pengetahuan Keluarga Tentang Perawatan dan Pencegahan Diare.

Contoh surat lamaran


.............., ................20..

Hal : Permohonan Lamaran Pekerjaan

Kepada Yth
Kepala Bagian Personalia
RS. .................
Di Tempat


Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini bermaksud mengajukan lamaran pada Rumah Sakit yang Bapak / Ibu pimpin sebagai tenaga Paramedis ( perawat).

Thursday, July 7, 2011

Otosklrerosis.rtf

Otosklrerosis

Indera pendengar merupakan salah satu alat panca indera untuk mendengar. Bagian-bagian telinga terdiri dari :
1. Telinga bagian luar ( Auris eksterna )
Aurikula ( daun telinga ), menampung gelombang suara datang dari luar masuk ke dalam telinga.
Meatus akustikus eksterna ( liang telinga ) merupakan saluran penghubung aurikula dengan membrane timpani panjangnya + 2,5 cm terdiri dari tulang rawan dan tulang keras, saluran ini mengandung rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat, khususnya menghasilkan secret-sekret berbentuk serum.
Membrane timpani merupakan antara telinga luar dan telinga tengah terdapat selaput gendang telinga.
2. Telinga bagian tengah ( Auris media )
Karvum timpani merupakan rongga di dalam tulang temporalis terdapat 3 buah tulang pendengaran yang terdiri dari maleus, inkus dan stapes yang melekat pada bagian dalam membrane timpani dan bagian dasar tulang stapes membuka pada fenestra ovalis.
Antrum timpani merupakan rongga tidak teratur yang agak luas terletak di bagian bawah samping dari kavum timpani. Antrum timpani dilapisi oleh mukosa merupakan lanjutan dari lapisan mukosa kavum timpani, rongga ini berhubungan dengan beberapa rongga kecil yang disebut sellula mastoid yang terdapat di belakang bawah antrum di dalam tulang temporalis.
Tuba auditiva eustaki merupakan saluran tulang rawan yang panjangnya + 3,7 cm berjalan miring ke bawah agak ke depan, dilapisi oleh lapisan mukosa.
3. Telinga bagian dalam ( Auris Interna )
Terletak pada nagian tulang keras pylorus temporalis, terdapat reseptor pendengaran dan alat pendengar ini disebut labirin.
Labirintus osseous merupakan serangkaian saluran bawah dikelilingi oleh cairan dinamakan perilimfe. Labirintus osseous terdiri dari :
• Vestibulum
• Koklea
• Kanalis semi sirkularis
Labirintus membranosus, terdiri dari :
• Utrikulus
• Sakulus
• Duktus semi sirkularis
• Duktus koklearis
Proses pendengaran
Ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal gelombang suara dimana kecepatan dan volumenya berbeda-beda. Gelombang suara bergerak melalui rongga telinga luar yang menyebabkan membran timpani bergetar, getaran-getaran tersebut diteruskan menuju inkus dan stapes melalui maleus yang terkait pada membrane itu. Karena getaran yang timbul setiap tulang itu sendiri maka tulang akan memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe dialihkan melalui membrane menuju endolimfe dalam saluran koklea dan rangsangan mencapai ujung-ujung akhir saraf dalam organ korti selanjutnya dihantarkan menuju otak. Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang enak atau tidak, gelombang suara menimbulkan bunyi :
• Tingkatan suara biasa 80 – 90 desible
• Tingkatan maksimum kegaduhan 130 desible

A. Pengertian Otosklerosis
 Otosklerosis merupakan pembentukan tulang seperti spons di daerah foramen ovale yang menyebabkan ankilosis stapes, mengakibatkan tuli kronis progresif.
( kamus kedokteran FKUI edisi ketiga. 2001 )
 Otosklerosis merupakan pertumbuhan berlebih pada tulang-tulang telinga tengah yang mempengaruhi hantaran bunyi. ( www.keluargasehat.com.2004 )
 Otosklerosis merupakan suatu penyakit dimana tulang-tulang di sekitar telinga tengah tumbuh secara berlebihan sehingga menghalangi pergerakan tulang stapes ( tulang telinga tengah yang menempel pada telinga dalam ), akibatnya tulang stapes tidak dapat menghantarkan suara sebagaimana mestinya.
( www.medicastore.com )
Otosklerosis dikelompokkan pada gangguan hantaran karena mempengaruhi tulang-tulang telinga dalam menghantarkan suara ke saraf pendengaran. Jika seseorang mengalami gangguan pendengaran yang bersifat neural ( saraf ), maka hantaran impuls-impuls saraf ke otak akan terlibat.
B. Etiologi / penyebab
Otosklerosis merupakan penyakit keturunan ( herediter ) dan merupakan penyebab tersering dari tuli konduktif progresif pada dewasa yang gendang telinganya normal. Penyakit yang didapat & trauma / cidera tidak ada hubungannya dengan perkembangan otosklerosis.
C. Manifestasi Klinis
Gejala utamanya adalah gangguan pendengaran. Banyak penderita yang mengeluh tinnitus ( suara bising di dalam telinga ).
D. Patofisiologi
Faktor herediter Trauma / Cidera
Terganggu sistem pendengarannya Gangguan hantaran bunyi
Telinga bagian tengah terganggu
( sekitar jendela ovalis )
Terdapat pertumbuhan tulang
Yang abnormal ( tulang spongius )
Otosklerosis
E. Komplikasi
• Penyakit arteri koroner
• Penyakit vascular perifer
• Penyakit vascular serebral
F. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk mengetahui beratnya ketulian bisa dilakukan pemeriksaan audiometri / audiologi, CT scan atau rontgen kepala dilakukan untuk membedakan otosklerosis dengan penyebab ketulian lainnya.
G. Terapi / Pengobatan
Penderita otosklerosis dapat diterapi dengan alat bantu dengar. Tindakan pembedahan ( replacement )


ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
 Riwayat kesehatan
Gambaran lengkap masalah telinga termasuk infeksi otolgia, kehilangan pendengaran. Data dikumpulkan mengenai durasi intensitas masalahnya, penyebab dan masalah penanganan sebelumnya, alergi obat, dan riwayat keluarga mengenai penyakit telinga.
 Aktifitas
Aktifitas klien harus dikaji karena mengalami gangguan pendengaran.

2. Diagnosa Keperawatan
Pre – op
 Ansietas ( cemas ) b.d prosedur pembedahan, Potensial kehilangan pendengaran.
 Resiko cidera b.d gangguan pendengaran.

Post – op
 Nyeri b.d adanya pembedahan stapedektomi.
 Resiko cidera b.d perubahan gangguan pendengaran.
 Resiko cidera b.d stapedektomi, pemasangan graft, dan terhadap struktur di sekitarnya.
 Kerusakan integritas kulit b.d adanya pembedahan telinga, insisi dan tempat graft.
 Kurangnya perawatan diri b.d disfungsi sistem pendengaran.

3. Intervensi Keperawatan
Pre – op
Dx 1
Kriteria hasil : rasa cemas berkurang / hilang
a. Kaji tingkat ansietas, bantu pasien mengidentifikasi.
b. Beri informasi mengenai otosklerosis dan penggunaannya.
c. Motivasi pasien mendiskusikan ansietas dan gali keprihatinan mengenai otosklerosis.
d. Ajarkan pasien tentang penatalaksanaan stress.
e. Berikan upaya kenyamanan dan hindari aktivitas yang menyebabkan stress.
Dx 2
Kriteria hasil : pasien tidak mengalami cidera
a. Bantu mengidentifikasi bahaya lingkungan sekitar.
b. Lakukan pengkajian ketajaman pendengaran.
c. Dorong peningkatan aktivitas dengan / tanpa menggunakan alat bantu pendengaran.

Post – op
Dx 1
Kriteria hasil : rasa nyaman nyeri terpenuhi / berkurang.
a. Kaji skala nyeri.
b. Beritahu kepada pasien agar telinga yang di operasi tidak kemasukan air selama 2 minggu.
c. Anjurkan pasien meminum obat analgetik selama 24 jam pasca operasi.
Dx 2
Kriteria hasil : pasien tidak mengalami cidera
a. Kaji ketajaman sistem pendengaran setelah stapedektomi.
b. Dorong pasien untuk berbaring bila merasa pusing.
c. Anjurkan pasien untuk tetap beraktivitas sementara waktu.
d. Anjurkan pasien tetap membuka matanya dan memandanglurus ke depan ketika berbaring.
Dx 3
Kriteria hasil : pasien tidak mengalami cidera setelah dilakukan stapedektomi, pemasangan graft.
a. Beritahukan pasien untuk minum obat antibiotic yang diresepkan dokter.
b. Beritahu pasien agar telinga yang telah dilakukan stapedektomi tidak kemasukan air selama 2 minggu.
c. Awasi dan laporkan segera adanya tanda-tanda komplikasi.
d. Beritahu pasien mengenai pembatasan aktivitas.
e. Jaga teknik aseptic ketat.
Dx 4
Kriteria hasil : tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
a. Kaji warna kulit area operasi.
b. Ganti balutan sesuai indikasi.
c. Berikan perawatan insisi rutin.
d. Beritahu pasien agar telinga yang dilakukan stapedektomi tidak kontak dengan air.
Dx 5
Kriteria hasil : pengetahuan pasien bertambah.
a. Anjurkan pasien / keluarga mengetahui tanda dan gejala komplikasi untuk segera memberitahukan kepada dokter.
b. Berikan instruksi lisan kepada pasien untuk pemberian obat.
c. Evaluasi perlunya bantuan mengenai pamulangan.
d. Berikan penkes untuk perawatan di rumah.
Ditulis oleh pendi rdiansyah
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 3. Jakarta : EGC.
2. Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 8. Jakarta : EGC.
3. J. Corwin, Elisabeth. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
4. Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi untuk siswa perawat edisi 2. Jakarta : EGC.
5. www.keluargasehat.com.2004
6. www.medicastore.com








Kejang demam

 
BAB 1
PENDAHULUAN

Pengkajian adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut. (Santosa. NI, 1989, 154)
Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang meliputi kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data didapatkan dari pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain,

penyakit Kusta

PENYAKIT KUSTA

Latar Belakang
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius.
Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia Tenggara, dengan angka kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk, misalnya imigrasi, pengungsi dan sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru menunjukkan penurunan. Di India jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun 1961 jumlah penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada tahun 1971 jumlah penderita 3,2 juta dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga banyak ditemykan di Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang tercatat lebih dari 5.000 kasus.
Selama tahun 2000 di Indonesia ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002.
Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks bukan hanya dari segi medis tetapi juga menyangkut masalah sosial ekonomi, budaya dan ketahanan Nasional. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan rasa takut, malu dan isolasi sosial berkaitan dengan penyakit ini. Laporan tentang kusta lebih kecil daripada sebenarnya, dan beberapa negara enggan untuk melaporkan angka kejadian penderita kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak diketahui. Melihat besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu dilakukan suatu langkah penanggulangan penyakit tersebut. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
Berdasarkan dari fenomena diatas maka kami mengangkat masalah upaya penanggulangan penyakit kusta sebagai judul makalah dengan harapan dapat lebih memahami penyakit kusta dan penanggulangannya.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami mengangkat beberapa permasalahan yang terkait dengan Penanggulangan penyakit kusta, yaitu sebagai berikut :
1.Bagaimana gambaran umum penyakit kusta ?
2.Apa saja bentuk-bentuk dan gejala penyakit kusta ?
3.Bagaimana transimi penularan penyakit kusta ?
4.Bagaimana penegakan diagnosis penyakit kusta ?
5.Bagaimana penanggulangan penyakit kusta ?
6.Bagaimana upaya pencegahan penyakit kusta ?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan dalam memahami upaya penanggulangan penyakit kusta, yakni sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui gambaran umum penyakit kusta yang meliputi definisi , sejarah dan epidemiologi penyakit kusta ?
2.Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk dan gejala penyakit kusta ?
3.Untuk mengetahui bagaimana transimi penularan penyakit kusta ?
4.Untuk mengetahui penegakan diagnosis penyakit kusta ?
5.Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan penyakit kusta ?
6.Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan penyakit kusta ?
1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Melalui penulisan makalah yang mengangkat masalah upaya penanggulangan penyakit kusta diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah agar lebih mengoptimalkan upaya penanggulangan penyakit kusta melalu kerjasama lintas sektoral.
3. Sebagai sumber pengetahuan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa kesehatan masyarakat agar dapat mengetahui aspek-aspek penting mengenai upaya penanggulangan penyakit kusta

Gambaran Umum Penyakit Kusta
Definisi Penyakit Kusta
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa knak-kanak. Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Sejarah
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India. Pada 1995, Penyakit kusta atau lepra menjadi salah satu penyakit tertua yang hingga kini awet bertahan di dunia. Dari catatan yang ditemukan di India, penderita kusta sudah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Dalam buku City of Joy (Negeri Bahagia) karya Dominique, mantan reporter untuk sejumlah penerbitan di Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-an, kusta menjadi penyakit yang 'populer' dan menjadi bagian dari kehidupan miskin di Calcutta, India. Namun, kuman penyebab kusta kali pertama baru ditemukan pada tahun 1873 oleh Armauer Hansen di Norwegia.Karena itu penyakit ini juga sering disebut penyakit Hansen. Saat ini penyakit kusta banyak terdapat di Benua Afrika, Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3 (tiga) zaman yaitu zaman purbakala, zaman pertengahan dan zaman moderen. Pada zaman purbakala karena belum ditemukan obat yang sesuai untuk pengobatan penderita kusta, maka penderita tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu, disamping itu masyarakat menjauhi mereka karena merasa jijik. Pada zaman pertengan penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksa tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta seumur hidup.

Zaman Purbakala.
Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal didalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan penderita merasa rendah diri dan malu, disamping masyarakat menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut.

Zaman Pertengahan.
Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan system feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan hak azasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/Koloni Perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup

Zaman Modern.
Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan penderita kusta.
b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas.
c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat Kombinasi Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan rekomendasi WHO.

Epidemiologi Penyakit Kusta
a. Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindahampenduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja.
Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003 menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.

Epidemiologi Kusta di Indonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh WHO yaitu tahun 2000.
Prevalensi Penderita Kusta
Pada akhir tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar 17.539 kasus yang mendapat pengobatan MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137 kasus pada desember 2001, akan tetapi terjadi peningkatan pada tahun 2002 menjadi 19.100 kasus. Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk menurun dari 0,99 menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi menjadi 0,92.
Pada tahun 2001, PR di tingkat propinsi mempunyai variasi yang sangat lebar DI Yogyakarta (0,09) dan tertinggi di Propinsi Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002 PR terendah di propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara (6,72). Dari gambaran prevalendi di propinsi, terlihat bahwa kebanyakan propinsi yang belum dapat mencapai eliminasi terletak di Kawasan Indonesia Timur dan daerah yang sering terjadi konflik.
Angka Penemuan Penderita Baru
Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.
Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per 100.000 penduduk. Di tingkat propinsi pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat di Propinsi Papua (49,65) dan terendah di propinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun 2002 tertinggi dopropinsi papua (39,55) dan terendah di Propinsi Bengkulu (0,250. Cakupan penderita dengan MDT 100%, sedangkan Puskesmas yang melaporkan penderita kusta sebanyak 4900 dengan angka kesembuhan lebih dari 90%
Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasusu baru adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta. Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jatim menyandang beban sebagai daerah rawan ini bersama Irian Jaya bagian barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara,
Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.
1. Tipe tuberkoloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2.Tipe borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3.Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Leso sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4.Tipe borderline lepromatosa
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jekas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.
5. Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan histopatologik.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu:
1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.
3. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus.
4. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
5. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit
6. Alis rambut rontok
7. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)
Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :
1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
2. Anoreksia.
3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
4. Cephalgia.
5. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
6. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan hepatospleenomegali.
7. Neuritis.
Transmisi Penularan Penyakit Kusta
A. Organisme Penyebab Penyakit Kusta
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organisme patogen (misalnya Microbacterium tubercolose, mycrobakterium leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion. M. leprae belum dapat dikultur pada laboratorium. Kuman Mycobacterium Leprae menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tandatanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Patogenesis
Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M.leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.
M.leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan M.lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.
Reservoir
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang armadillo liar diketahui secara alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi penularan dari armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione.
 Cara penularan
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinann masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :

Faktor sumber penularan
Adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler ini pun tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur.
Faktor kuman kusta
Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu dan cuaca dan diketahui kuman kusta yang utuh yang dapat menimbulkan penularan.
Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil penelitian menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Masa inkubasi
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa. Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
 Kerentanan dan kekebalan
Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat tergantung pada kemampuan tubuh untuk membentuk “cell mediated“ kekebalan secara efektif. Tes lepromin adalah prosedur penyuntikan M. Leprae yang telah mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi dalam 28 hari setelah penyuntikan disebut dengan reaksi Mitsuda. Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis lepromatosa dan positif pada kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal. Karena tes ini hanya mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai pertanda adanya imunitas. Komite Ahli Kusta di WHO menganjurkan agar penggunaan tes lepromin terbatas hanya untuk tujuan penelitian. Angka hasil tes yang positif akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai tambahan tingginya prevalensi transformasi limfosit yang spesifik terhadap M. leprae dan terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. leprae diantara orang yang kontak dengan penderita kusta menandakan bahwa penularan sudah sering terjadi walaupun hanya sebagian kecil saja dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit kusta. Pola klinis penyakit ini ditentukan oleh respons imunitas yang diperantarai sel (cell-mediated imunity) host terhadap organisme. Bila respons imunitasnya baik, maka timbul lepra tuberkuloid, dimana kulit dan saraf-saraf perifer terkena. Lesi kulit berbentuk tunggal. Atau hanya beberapa, dan berbatas tegas. Bentuknya verupa makula atau plak dengan hipopigmentasi pada kulit yang gelap. Terdapat anestesi pada lesi, hilangnya keringat, dan berkurangnya jumlah rambut. Penebalan cabang-cabang saraf kulit dapat diraba pada daerah lesi tersebut, dan saraf perifer yang besar juga dapat diraba. Tes lepromin positif kuat. Gambaran histologis berupa granuloma tuberkoloid yang jelas, dan tidak ditemukan adanya basil pada pewarnaan Ziehl-Nielsen yang dimodifikasi. Bila respons imunitas selulernya rendah, maka multiplikasi kuman menjadi tak terkendali dan timbul bentuk lepralepromatosa. Kuman menyebar tidak hanya pada kulit, tetapi juga mukosa saluran respirasi, mata, testis, dan tulang. Lesi kulit berbentuk multipel dan nodular. Tes lepromin negatif. Pada pemeriksaan histologi berupa granuloma yang difus pada dermis, dan ditemukan basil dalam jumlah yang banyak.
Di antara kedua bentuk lepra yang ekstrem tadi, terdapat spektrum penyakit ini yang disebut dengan lepra borderline, di mana gambaran klinis dan histrologisnya menggambarkan berbagai derajat respons imunitas seluler terhadap kuman. Tidak ada tes diagnostik lepra yang absolut, yaitu diagnosis yang berdasrakan pada gambaran klinis dan histologis. Lepra tuberkoloid biasa diobati dengan kombinasi dapson dan rifampisin selama 6 bulan, sementara lepra lepromatosa dapat diobati dengan dapson, rifampisin dan klofazimin paling tidak selama 24 bulan. Pengobatan lepra mungkin dipersulit dengan adanya reaksi kusta yang dipengaruhi oleh imunitas, dan harus diamati oleh seseorang yang berpengalaman dalam hal penanganan lepra.
2.4 Diagnosa Penyakit Kusta
Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain. Sebaliknya banyak penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit yang lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan pasien. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama), yaitu :
1.Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu :
a. gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
c. gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu.
3. Ditemukannya kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit dan saraf. Untuk menegakkan diagnosis ppenyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
Untuk menetapkan diagnosa kusta perlu dicari tanda-tanda pokok pada badan yaitu :
a. Adanya kelainan kulit dapat berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak-eritem (kemerah-merahan), infiltrasi (penebalan kulit), nodul (benjolan).
b. Berkurang sampai hilang rasa pada kelainan kulit tersebut di atas.
c. Penebalan syaraf tepi.
d. Adanya kuman tahan asam didalam korekan jaringan kulit (BTA Positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bila mana terdapat sekurang-kurangnya 2 dari tanda-tanda pokok yang ditemukan atau bila terdapat BTA Positif. Dan bila ragu-ragu orang tersebut diangap sebagai suspek dan diperiksa ulang setiap tiga bulan sampai diagnosa kusta atau penyakit lain dapat ditegakkan.
Menyatakan (mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga atapun masyarakat disekitarnya). Bila ada keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi :
a. Klinis
b. Bakteriologis
c. Immunologis
d. Hispatologis
Namun untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan anamnese dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis yang khas. Tes-tes serologik bukan treponema untuk sifilis sering menghasilkan positif palsu pada lepra.
Diagnosa klinis juga dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kulit secara lengkap dengan menemukan tanda-tanda terserangnya syaraf tepi berupa gejala hipestasia, anesthesia, paralysis pada otot dan ulkus tropikum. Untuk mengetahui apakah terjadi pembesaran dan pengerasan syaraf tepi, dilakukan palpasi bilateral, untuk n. ulnaris dilakukan pada bahu dan untuk n. peronealis pada caput bibulae. Begitu pula dilakukan pemeriksaan terhadap n. auricularis major. Dilakukan tes terhadap sensasi kulit dengan rabaan halus, ditusuk dengan jarum pentul, diskriminasi suhu. Untuk diagnosa banding harus dibedakan dengan penyakit lain yang menimbulkan penyakit kulit yang infiltratif seperti limfoma, lupus eritomatosa, psoriasis, skleroderma dan neurofibromatosis. Leishmaniasis difosa, infeksi jamur pada kulit, myxedema, kulit pachydernoperiostosis, gejala klinisnya dapat mirip dengan kusta tipe lepromatosa, namun tidak ditemukan bakteri tahan asam. Sedangkan karena kekurangan gizi, nevus dan jaringan parut pada kulit dapat mirip dengan kusta tipe tuberkuloid.
Diagnossa kusta tipe lepromatosa (multibaciller) ditegakkan dengan ditemukannya bakteri tahan asam pada sediaan yang diambil dengan melakukan incisi pada kulit. Pada kusta tipe tuberkuloid (paucibaciller) jumlah basil kemungkinan sangat sedikit sehingga sulit ditemukan pada pemeriksaan. Dalam keadaan ini media kulit hendaknya dikirim kepada ahli patologi yang berpengalaman dalam penegakkan diagnosa kusta. Timbulnya gejala terserangnya saraf dan ditemukannya bakteri tahan asam merupakan gejala patognopmonis kusta.
Diagnosis penyakit kusta masih tergantung pada penemuan klinis dan bakterioiogis, yang sifatnya subyektif dan merupakan mata rantai yang lemah dalam pemberantasan kusta. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa rata-rata penyakit kusta baru ter-diagnosis setelah 2 tahun menderita dan terdiagnosis rata-rata dalam 4,5 kali kunjungan.
Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan dalam medium buatan, sehingga diagnosis yang tepat dalam waktu pendek masih belum memungkinkan; teknik serologi untuk mengukur antibodi spesifik terhadap antigen M. leprae masih belum memuaskan, karena hanya bermakna pada penderita kelompok multibasiler, hampir tidak berguna pada kelompok paucibasiler, dan masih belum dapat meramalkan secara pasti kemungkinan sakit-tidaknya orang-orang sehat yang seropositip.
Akhir-akhir ini telah dikembangkan teknik menggunakan enzim polimerase yang merupakan cara M. leprae yang sensitif, spesifik dan cepat. PCR dikembangkan pentama kali oleh Mullis et all (1991) merupakan cara invitro untuk memperbanyak DNA suatu mikroorganisme dengan menggunakan enzim polimerase. Kelebihan penggunaan teknik PCR adalah sensitivitas dan spesifisitasnya yang tinggi sehingga mampu mendeteksi M. leprae secara akurat dan dalam waktu yang cepat. Selain itu dengan PCR dapat ditentukan penderita pausibasiler, orang sehat carrier dan sumber-sumber penularan lain seperti: alat-alat rumah tangga, lantai, pakaian dan sebagainya. Kelemahan utama teknik PCR adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan; kelemahan lain adalah bahwa PCR tidak mampu membedakan M. leprae yang hidup dan yang mati.
2.5 Penanggulangan Penyakit Kusta
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan program pemberantasan penyakit kuista adalah menurunkan angka prevalensi penyakit kustra menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000.
Upaya yang dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :
1. Penemuan penderita secara dini.
2. Pengobatan penderita.
3. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.
4. Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.
5. Rehabilitasi penderita kusta.
A. Penanggulangan Penyakit Kusta Melalui Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih berdasarkan atas deteksi dini dan penobatan penderita, yang tampaknya masih merupakan dua hal yang penting meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Dilihat dari sejarahnya pengobatan kusta telah melalui beberapa fase perkembangan yaitu dari era pre sulfon sampai ditemukannya obat-obat baru yang bersifat mikobakterisidal yang lebih efektif.
Sampai tahun 1950 belum ditemukan obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit kusta, satu-satunya cara untuk menangani penderita kusta adalah dengan mengisolasi penderita ketempat penawatan khusus. Kemudian ditemukan dapson, yaitu obat anti penyakit kusta yang pertama. Namun dalam dua dekade berikutnya, ternyata dapson menjadi kurang efektif karena bakteri penyebab kusta yaitu Mycobacterium leprae menjadi resisten, sehingga pengobatan gagal dan penyakit akan kambuh lagi. Di-samping itu pengobatan yang berlangsung lama sering meng-akibatkan penderita menjadi putus asa dan malas berobat. Pada tahun 1981 WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug Therapy (MDI), yaitu pengobatan baku terhadap pasien dengan kusta multibasil dan pasien dengan kusta paucibasil. Regimen ini diharapkan efektif, dapat digunakan secara luas dan diterima oleh semua pasien; sampai saat ini telah diterima se-bagai pengobatan standar untuk penyakit kusta.
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an. Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri.Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama. Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan obat.
Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan/kutukan.Tipe MB lama pengobatan : 12 - 18 bulan.Tipe PB lama pengobatan : 6 - 9 bulanPengobatan Kusta dapat dilakukan pada Puskesmas/Rumah Sakit/ UPK yang melakukan pengobatan kusta. Semua pengobatan kusta di Puskesmas/UPK/Rumah Sakit di dapat secara gratis.
Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan sejak pelita I). Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia.
Meskipun obat-obat baru ditemukan tampaknya memberi harapan yang lebih cerah, namun karena masih dalam evaluasi uji klinis maka regimen MDT masih dianjurkan dalam program pemberantasan kusta di seluruh dunia termasuk di indonesia.
Program MDT
Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin dan klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurnkan angka putus-obat (drop out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Obat dalam rejimen MDT-WHO
a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA. Resistensi terhadap
b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel.
c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta, kekurangan obat ini adalah harganya mahal, serta menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan berobat penderita.
d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta.
Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yarlg bersisik). Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :
1. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara teliti.
a. Semua bercak masih nampak.
b. Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan tangan.
c. Semua syaraf yang masih tebal.
d. Semua cacat yang masih ada.
2. Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar).
3. Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku register. Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :
a. Pengobatan telah selesai.
b. Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar janga sampai luka.
c. Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk periksaan ulang.
Obat kusta baru.
Dalam plekasanaan program MDT-WHO ada beberapa masalah yang timbul yaitu adanya persister, resistensi rifampisin dan lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini. Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, tidak antagonis dengan obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Beberapa macam obat baru yang telah berhasil diidentifikasi untuk pengobatan penyakit kusta adalah derivat dan rifamisin, antibiotik beta-lactam, aminoglikosid, kuinolon(8) (pefloxacin, ofloxacin dan sparfioxacin) minosiklin, klarithromisin, serta kombinasi antara ofloxacin dan rifamPisin. Diantara yang sudah terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.
Ofloxacin Dan Rifampicin
Pada tahun 1992 telah dilakukan percobaan obat dalam skala besar yang dilaksanakan di tujuh negara yaitu: Brazil, Kenya, Mali, Myanmar, Pakistan, Filipina dan Vietnam. Pengobatan ini diberikan secara oral, yang merupakan gabungan antibiotik baru yaitu ofloxacin dengan rifampisin. Dalam percobaan yang me-libatkan 4000 pasien tersebut, dibandingkan penggunaan regi-men baru dengan regimen MDT standar, hasilnya dapat dilihat setelah 4 sampai 5 tahun kemudian. Kombinasi dengan obat ini ternyata dapat memperpendek waktu penyembuhan menjadi 1 bulan dibandingkan dengan standar pengobatan yang sudah ada yaitu 6 bulan sampai 4 tahun.
Cara kerja antibiotik ofloxacin ini adalah membunuh baksil lepra dengan menghambat enzim yang mengontrol jalannya DNA coils yang masuk ke dalam baksil. Ofloxacin menjadi alternatif kedua setelah rifampisin karena kecepatan dan efikasi-nya dalam membunuh baksil lepra yang telah dilakukan pada percobaan dengan teknik foot pad pada mencit. Konsentrasi minimum ofloxacin yang dibutuhkan untuk menghambat per-tumbuhan Myco bacterium leprae adalah 50 mg/kg berat badan, sedangkan untuk rifampisin dan rifabutin adalah 0.003% dan 0.00l%.
Penelitian saat ini ditekankan pada anggapan bahwa ofloxacin dapat lebih membunuh baksil mutan yang resistan terhadap rifampisin. Akan tetapi karena kombinasi rifampisin dan ofloxacin lebih mahal daripada dapson dan clofazimine, pengobatan baru yang lamanya 4 minggu menjadi sama besar biayanya dengan standar pengobatan yang 6 bulan atau 2 tahun. Namun dengan penggunaan yang lebih luas maka biaya pengobatan dengan ofloxacin dapat ditekan sehingga tujuan untuk eliminasi lepra pada tahun 2000 dapat cepat tercapai.
Minosiklin
Di antara turunan tetrasiklin, monosiklin merupakan satu-satunya yang aktif terhadap M.leprae. hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat lipofiliknya sehingga menyebabkan ia mampu menembus dinding sel M.leprae dibandingkan dengan turunan lain. Minosiklin bekerja dengan menghambat sintesis prorein melalui mekenisme yang berbeda dengan obat antikusta yang lain.
Klaritromisin
Dibandingkan obat lain golongan makrolid, klaritromisin mempunyai aktivitas bakterisidal setara dengan ofloksasin dan minosiklin. Obat ini juga bekerja dengan menghambat sintesis protein melalui mekanisme yang lain daripada minosiklin.
B. Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi
a. Rehabilitasi Medik
Kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa timbulnya cacat pada penyakit kusta merupakan salah satu hal yang paling penting ditakuti. Dari hasil penelitian pada bulan Maret 1996 di RSK SITANALA, menunjukkan bahwa lebih dari 73% pasien yang datang berobat di poliklinik telah disertai cacat kusta. Walaupun dengan pengobatan yang benar dan teratur penyakit kusta dapat disembuhkan, akan tetapi cacat yang telah timbul atau mungkin yang akan timbul merupakan persoalan yang cukup kompleks. Bila hal ini tidak ditangani secara benar, maka akan berlanjut semakin parah serta berakhir fatal. Makin berat keadaan suatu cacat, maka makin cepat pula keadaan memburuk.
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna.
Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama untuk mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu :
1. Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis, dan kontraktur.
2. Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
3. Kontrol nyeri.
4. Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit.
Meskipun penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini termasuk penyakit yang paling ditakuti diseluruh dunia. Penyakit ini sering kali menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks bagi penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pada penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan cacat fisik.
Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisk yang menimbukan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal tersebut di atas, meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisinya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya.
Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali tida dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya aka nada perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah laku penderita. Ia akan selalu sedapat mungkin menyembunyikan keadaannya sebagai seorang penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya kan memperbesar resiko timbulnya caca bagi penderita itu sendiri. Tentu saja semua tersangka kasus kusta harus diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali untuk menghindari salah diagnosis, karena setiap kesalahan dalam penegakkan diagnosis akan dapat menimbulkan beban psikis dan dampak social yang tidak hanya dapat dialami oleh penderita itu sendiri, tetapi juga terhadap keluargannya.
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibandingkan dengan masalah medisnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena adanya stigma leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi yang keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negative terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta tidak mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat lingkungannya.
Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus segera dimulai sedini mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu dimulai dan dilakukan secara terus menerus secara paripurna sampai ia dapat mencapai kemandirian dan hidup bermasyarakat seperti sediakala. Dengan kata lain tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi penderita itu sendiri.
Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya cacat fisik. Bila pengobatan tersebut tidak diimbangi oleh rehabilitasi mental, maka akan sulit dicapai partisipasi aktifdari penderita agar berobat teratur dan menyelesaikan secara tuntas program pengobatan yang telah dianjurkan. Cacat psikososial ini mulai dirasakan oleh penderitasejak saat ia dinyatakan menderita penyakit kusta dan bila hal tersebut mulai diketahui oleh keluarganya maupun oleh masyarakar di sekitarnya. Hal ini akan bertambah berat bila ia merupakan tumpuan hidup dan sumber nafkah bagi keluarganya. Dalam banyak hal ia dapat kehilangan sumber penghasilannya dan memperburuk keadaannya beserta keluarga.
Untuk mengindari terjadinya hal-hal tersebut, maka bila ada keragu-raguan meskipun sedikit saja, sebaiknya segera merujuk penderita kepada mereka yang dianggap lebih berpengalaman. Setelah diagnosis kusta ditegakkan, maka pengobatan harus segera dimulai, disertai upaya rehabilitasi mental terhadap penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya.
Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila seseorang belum dapat dipastikan menderita penyakit kusta atau penyakitnyamasih diragukan. Komplikasi antara lain seperti penyakit kusta, harus ditangani sedini mungkin dan secara adekuat untuk mencegah terjadinya cacat kusta. Andaikata cacat kusta te lah terjadi, maka upaya rehabilitasi untuk mencegah berlanjutnya cacat harus segera dilakukan.
Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi hasil pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis menyatakan bahwa penyakit kusta dalam keadaan inaktif, maka pengobatan tidak diperlukan lagi dan hanya dilakukan upaya-upaya rehabilitasi. Pada penderita harus ditekankan bahwa obat-obat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat fisik yang telah ada, supaya ia tidak mencari pengobatan di luar ketentuan yang telah digariskan oleh Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya diberikan pada penderita kusta aktif, dengan atau tanpa cacat kusta.
C. Rehabilitasi Mental
Seperti telah dijelaskan, setiap penderita yang dinyatakan menderita penyakit kusta akan mengalami kegoncangan jiwa dan masing-masing mempunyai cara sendiri untuk bereaksi terhadap keadaan ini. Ada yang segera dapat menerima keadaan inidan segera mancari pertolongan medis, adapula yang berusaha menolak kenyataan dengan mencari pertolongan alternative termasuk berobat pada dukun, tabib dan sebagainya. Dan adapula yang merasa rendah diri mengalami depresi, menyendiri, menyembunyikan dirinya karena malu, dan adapula yang berfikir untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Pada umumnya mereka dibayang-bayangi oleh ketakutan yang sangat mendalam akan timbulnya cacat fisik akibat penyakit ini. Suatu hal yang perlu kita sadari bahwa tidak seorang sehatpun ingin mendapatkan cacat dalam kehidupannya. Hal ini merupakan dasar bagi setiap petugas kesehatan dalam melakukan penyuluhan kusta. dengan menekankan bahwa sebenarnya penyakit kusta bila diobati secara dini dan benar akan dapat mengurangi risiko terjadinya cacat semaksimal mungkin. Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya, untuk memberikan dorongan dan semangat agar mereka dapat menerima kenyataan ini. Selain itu juga agar penderitadapat segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis. Informasi yang perlu disampaikan antara lain sebagai berikut:
1) Tentang penyakit kusta dan pengobatannya
2) Hal-hal yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi
3) Masalah psikososial kusta
4) Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang sering sekali timbul selama proses pengobatan dan setelah pengobatan selesai
5) Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya cacat tersebut.
6) Peran serta masyarakat pada penanggulangan penyakit kusta.
7) Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.
8) Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi, berbagai upaya kesehatan terhadap penyakit kusta.
Hal-hal ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan kepada penderita dan keluarganya sebelum pengobatan kusta dimulai, secara sederhana dan mudah dimengerti oleh mereka. Hanya dengan demikian kita dapat mengharapkan keberhasilan penanggulangan penyakit kusta secara paripurna.
Petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun paramedic harus dibekali dengan pengatahuan kusta yang memadai supaya terampil dalam memberikan penyuluhan kusta dengan baik dan bermanfaat. Bimbingan mental ini harus didukung juga oleh partisipasi aktif dari pemuka masyarakat dan pemuka agama pada setiap kesempatan yang ada.
Tanpa dibekali informasi yang tepat tentang hal-hal tersebut, maka penderita cenderung memnjadi bosan menghadapi masa pengobatan yang panjang dan itu-itu saja, sehingga ia akan berobat semaunya secara tidak teratur. Lebih celaka lagi bila selama mmasa pengobatan timbul komplikasi berupa neuritis atau reaksi yang memperburuk kondisi tubuhnya, sehingga timbul pikiran negative untuk menghentikan saja pengobatan yang telah berjalan dengan baik dan mencari pertolongan pengobatan secara alternatif.
Ketidakteraturan berobat, dan menghilangnya penderita tanpa melanjutkan pengobatannya menimbulkan banyak masalah dalam keberhasilan upaya penanggulangan penyakit kusta. Hal ini akan memperbesar risiko kecacatan dan resistensi terhadap obat kusta. Dengan timbulnya cacat kusta, upaya penanggulangan penyakit kusta akan menjadi bertambah berat karena diperlukan rehabilitasi medis dan nonmedis yang lebih komleks dan biaya yang lebih besar. Hal ini akan menjadi beban bagi Negara dan bangsa.
Walaupun pengobatan medis kusta dan upaya rehabilitasi ini berhasil dilakukan, tetapi dengan adanya stigma dan leprofobi akan timbul banyak kendala dalam memasyarakatkan kembali penderita dan bekas penderita kusta. Tetapi, dengan memberikan informasi yang benar tentang penyakit kusta serta menanamkan pengertian yang baik, maka stigma dan leprofobi dapat dikurangi dan ditekan hingga seminimal mungkin.
Dengan demikian penyakit kusta dapat dianggap sama seperti penyakit menular lainnya dan penderita kusta dapat diterima dan diperlakukan secara wajar oleh masyarakat dengan hak yang sama seperti orang sehat yang lain.
Rehabilitasi Karya
Tidak semua penderita kusta bila sembuh data kmbali bekerja pada pekerjaan semula, apalagi bila pekerja terlanjur mengalam cacat fisik. Walaupun telah diupayakan rehabilitasi medis dan dinyatakan sembuh dari penyaitnya, mantan enderita tidak data melaukan pekerjaan yang sama seperti sedia lkala. Dalam banyak hal adanya stigma atau leprofobia akan menyebabkan penderita (mantan) kerap kali menghadapi kebdala social, sehungga perl u mengganti jenis pekerjaan untuk memugkinkan mencari nafkah bagi diri dan keluarganya. Adanya hilang rasa (anastesi) pada palmar atau dan plantar menyebabkan pekerjaan tertentu harus dihindari.
Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah erlanjur cacat dapat kembali melakukan pekerjaan yang sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya. Disampng itu penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi risiko berlanjutnya cacat pada penderita kusta.
E. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi pernderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi social bukanlah bantuan sosia yang harus diberikan secara terus menerus, melaikan upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini dapat berupa :
1) Memberikan bimbingan social.
2) Memberikan peralatan kerja.
3) Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi roda atau tongkat jalan.
4) Memberikan bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai dengan keadaan cacatnya.
5) . Membantu membeli/memakai hasil-hasil usaha mereka
6) Membantu pemasaran hasil-hasil usaha mereka.
7) Memberi bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan, sandang, papan, jaminan kesehatan, dan sebagainya.
8) Memberikan permodalan bagi usaha wiraswasta.
9) Member bantuan pemulangan ke daerah asal.
10) Memberikan bimbingan mental/spiritual.
11) Memberikan pelatihan ketrampilan/magang kerja dan sebagainya.
Dari segala upaya tersebut , sangat diharapkan peran serta masyarakat dalam menunjang keberhasilan resosiaisasi mereka. Semua akan dapat terlaksana dengan baik apabila stigma dan leprofobi dapat ditekan hingga seminimal mungkin. Dengan demikian kehadiran mereka dapatditerima oleh masyarakat, hasil karya dan usaha mereka mau dibeli serta dipakai oleh masyarakat. Tanpa partisipasi, maka segala usaha tersebut tidak akan berhasil.
 Upaya Pencegahan Penyakit Kusta
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa :
a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara teratur

Diketik ulang oleh pendi ardiansyah
Tanggal 06/07/2011
DAFTAR PUSTAKA

Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta.
Djuanda, Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FKUI. Jakarta.
Graham, Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.
Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya.
Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit. Puspa Swara. Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kusta
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/01/18/0060.html
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06EliminasiPenyakitKustapadaTahun2000.pdf/06EliminasiPenyakitKustapadaTahun2000.html








Klik & Subscribe Ya..

Translate